Latar Belakang Indonesia Memerlukan
UU ITE
- Hampir semua Bank di Indonesia sudah menggunakan ICT. Rata-rata harian nasional transaksi RTGS, kliring dan Kartu Pembayaran di Indonesia yang semakin cepat perkembangannya setiap tahun
- Sektor pariwisata cenderung menuju e-tourism ( 25% booking hotel sudah dilakukan secara online dan prosentasenya cenderung naik tiap tahun)
- Trafik internet Indonesia paling besar mengakses Situs Negatif, sementara jumlah pengguna internet anak-anak semakin meningkat.
- Proses perijinan ekspor produk indonesia harus mengikuti prosedur di negera tujuan yang lebih mengutamakan proses elektronik. Sehingga produk dari Indonesia sering terlambat sampai di tangan konsumen negara tujuan daripada kompetitor.
- Ancaman perbuatan yang dilarang (Serangan (attack), Penyusupan (intruder) atau Penyalahgunaan (Misuse/abuse)) semakin banyak.(sumber :
RUU Informasi dan Transaksi Elektronik
Rancangan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik memuat beberapa hal yakni: masalah yurisdiksi, perlindungan hak pribadi, azas perdagangan secara e-commerce, azas persaingan usaha usaha tidak sehat dan perlindungan konsumen, azas-azas hak atas kekayaan intelektual (HaKI) dan Hukum Internasional serta azas Cybercrime.
Rancangan
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik telah di susun sejak tahun
2001. Penyusunan materi UU ITE tidak terlepas dari dua naskah akademis yang
disusun oleh dua institusi pendidikan yakni Unpad dan UI. Tim Unpad ditunjuk
oleh Departemen Komunikasi dan Informasi sedangkan Tim UI oleh Departemen
Perindustrian dan Perdagangan. Pada penyusunannya, Tim Unpad bekerjasama dengan
para pakar di ITB yang kemudian menamai naskah akademisnya dengan RUU
Pemanfaatan Teknologi Informasi (RUU PTI). Sedangkan tim UI menamai naskah
akademisnya dengan RUU Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik.
Kedua naskah
akademis tersebut pada akhirnya digabung dan disesuaikan kembali oleh tim yang
dipimpin Prof. Ahmad M Ramli SH (atas nama pemerintah Susilo Bambang
Yudhoyono), sehingga namanya menjadi Undang-Undang Informasi dan Transaksi
Elektronik sebagaimana disahkan oleh DPR. Pada tanggal 25 Maret 2008 pemerintah
melalui Departemen Komunikasi dan Informasi (Depkominfo) telah mengesahkan
undang–undang baru tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Undang-Undang ITE
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) mengatur berbagai perlindungan hukum atas kegiatan yang memanfaatkan internet sebagai medianya, baik transaksi maupun pemanfaatan informasinya. Pada UU ITE ini juga diatur berbagai ancaman hukuman bagi kejahatan melalui internet. UU ITE mengakomodir kebutuhan para pelaku bisnis di internet dan masyarakat pada umumnya guna mendapatkan kepastian hukum, dengan diakuinya bukti elektronik dan tanda tangan digital sebagai bukti yang sah di pengadilan.
Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik
berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang ini, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun di
luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum
Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan
Indonesia.
Beberapa materi perbuatan yang dilarang (cybercrimes)
yang diatur dalam UU ITE, antara lain:
- konten ilegal, yang terdiri dari, antara lain: kesusilaan, perjudian, penghinaan/pencemaran nama baik, pengancaman dan pemerasan (Pasal 27, Pasal 28, dan Pasal 29 UU ITE);
- akses ilegal (Pasal 30);
- intersepsi ilegal (Pasal 31);
- gangguan terhadap data (data interference, Pasal 32 UU ITE);
- gangguan terhadap sistem (system interference, Pasal 33 UU ITE);
- penyalahgunaan alat dan perangkat (misuse of device, Pasal 34 UU ITE);
Pokok
pikiran dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), terdapat dalam pasal
– pasal di bawah ini :
- Pasal 8
Pengakuan Informasi Elektronik
-Pasal 9
Bentuk Tertulis
- Pasal 10
Tanda tangan
- Pasal 11
Bentuk Asli & Salinan
- Pasal 12
Catatan Elektronik
- Pasal 13
Pernyataan dan Pengumuman Elektronik
TRANSAKSI
ELEKTRONIK terdapat dalam Pasal-pasal berikut ini :
- Pasal 14
Pembentukan Kontrak
- Pasal 15
Pengiriman dan Penerimaan Pesan
- Pasal 16
Syarat Transaksi
- Pasal 17
Kesalahan Transkasi
- Pasal 18
Pengakuan Penerimaan
- Pasal 19
Waktu dan lokasi pengiriman dan penerimaan pesan
- Pasal 20
Notarisasi, Pengakuan dan Pemeriksaan
- Pasal 21
Catatan Yang Dapat Dipindahtangankan
Implikasi
Pemberlakuan RUU ITE
Undang-Undang
Informasi dan Transaksi Elektronik (UUITE) mengatur berbagai perlindungan hukum
atas kegiatan yang memanfaatkan internet sebagai medianya, baik transaksi
maupun pemanfaatan informasinya. Pada UUITE ini juga diatur berbagai ancaman
hukuman bagi kejahatan melalui internet. UUITE mengakomodir kebutuhan para
pelaku bisnis di internet dan masyarakat pada umumnya guna mendapatkan
kepastian hukum, dengan diakuinya bukti elektronik dan tanda tangan digital
sebagai bukti yang sah di pengadilan.
Penyusunan
materi UUITE tidak terlepas dari dua naskah akademis yang disusun oleh dua
institusi pendidikan yakni Unpad dan UI. Tim Unpad ditunjuk oleh Departemen
Komunikasi dan Informasi sedangkan Tim UI oleh Departemen Perindustrian dan
Perdagangan. Pada penyusunannya, Tim Unpad bekerjasama dengan para pakar di ITB
yang kemudian menamai naskah akademisnya dengan RUU Pemanfaatan Teknologi
Informasi (RUU PTI). Sedangkan Tim UI menamai naskah akademisnya dengan RUU
Transaksi Elektronik.
Kedua naskah
akademis tersebut pada akhirnya digabung dan disesuaikan kembali oleh Tim yang
dipimpin Prof. Ahmad M Ramli SH (atas nama pemerintah), sehingga namanya
menjadi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana disahkan
oleh DPR.
Sumber:
-
- http://rcardiansyah.blogspot.co.id/2013/05/ruu-tentang-informasi-dan-transaksi.html#.WRhfZcYlGHs
RUU Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)
Reviewed by Daniel Pandapotan Simorangkir
on
7:38 AM
Rating:
No comments: